Kitab Al-Hikam Ibnu Athoillah ayat 7-8 beserta penjelasannya


Hikmah no 7

“Janganlah kamu meragukan janji (Allah), karena tidak terjadinya apa yang telah Allah janjikan tersebut pada waktunya. Karena keraguanmu tersebut bisa menutupi mata-hatimu (bashirah) serta memadamkan nur cahaya batinmu (sirr-mu).”


Ustadz Salim Bareisy dalam terjemahnya di halaman 20:
Manusia sebagai hamba tidak mengetahui bilakah Allah akan menurunkan karunia rahmat-Nya, sehingga manusia jika melihat tanda-tanda ia menduga (mengira) mungkin telah tiba saatnya, padahal bagi Allah belum memenuhi semua syarat yang dikehendaki-Nya, maka bila tidak terjadi apa yang telah dikira-kira itu, hendaknya tiada ragu terhadap kebenaran janji Allah.

 Sebagaimana yang terjadi dalam Sulhul-Hudaibiah, ketika Rasulullah saw menceritakan impiannya kepada sahabat, sehingga mereka mengira bahwa pada tahun itu mereka akan dapat masuk Mekah dan melaksanakan ibadah umroh dengan aman sejahtera (yaitu mimpi Nabi saw yang tersebut dalam QS. Al-Fath ayat 27). Sehingga ketika gagal tujuan umroh karena ditolak oleh bangsa Quraisy dan terjadi penandatanganan perjanjian Sulhul Hudaibiyah, yang oleh Umar bin Khatab dan sahabat-sahabat lainnya dianggap sangat mengecewakan, maka Umar ra mengajukan beberapa pertanyaan, dijawab oleh Nabi saw :”Aku hamba Allah dan juga utusan-Nya, dan Dia tidak akan mengabaikanku.”

Firman Allah:
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah[2]:216)

Syaikh Fadhalla Hairi, dalam syarah Al-Hikamnya, mengatakan:
Untuk mempertahankan jalan yang tepat menuju pencerahan batin, kita harus membuang semua keraguan terhadap kesempurnaan, keadilan, dan kebijaksanaan Allah di balik terjadinya peristiwa-peristiwa sesuai dengan urutan dan waktunya yang tepat.

Yang terpenting adalah penyerahan diri sepenuhnya dan keyakinan total kita kepada kehendak dan tujuan Allah, meskipun kita mungkin sudah memperoleh ilham yang benar dan penglihatan batin menuju sebuah pencerahan maupun peristiwa, yang tidak terjadi.

====================================================================

Sahabat, kita memang selayaknya berjuang sekuat tenaga agar kita tidak tergelincir dalam situasi dan kondisi yang menyebabkan kita ragu terhadap janji Allah. Hal itu bisa kita cegah a.l. dengan:
a. Mengingat-ingat pertolongan-pertolongan Allah yang telah Dia anugrahkan kepada kita selama ini.
b. Mentafakuri dengan qalbu yang tenang, nash-nash yang menunjukkan bahwa janji Allah pasti Dia tunaikan.
c. Mewaspadai tipuan hawanafsu kita yang senantiasa membisiki kita dengan hal-hal yang mempertakuti kita kepada selain Allah.
d. Dll.

Wallahu A’lam bishshawwab.

Hikmah 8

“Apabila Dia membukakan bagimu suatu untuk ma’rifat (mengenal pada-Nya), maka jangan kauhiraukan soal amal-mu yang masih sedikit, sebab Dia tidak membukakan bagimu, melainkan Dia akan memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah kau ketahui bahwa ma’rifat itu semata-mata anugrah Allah kepadamu, sedang amalmu adalah hadiahmu kepada-Nya. Maka bagaimanahkah perbandingannya antara hadiahmu dengan anugrah-Nya kepadamu?”


Ustadz Salim Bahreisy ra. mensyarah dalam terjemahnya halaman 21 sebagai berikut:

Ma’rifat kepada Allah, merupakan puncak keberuntungan (falaha) seorang hamba, maka bila Dia telah membukakan bagimu suatu jalan untuk mengenal kepada-Nya, maka tidak usah kauhiraukan berapa banyak amal kebaikanmu. Sebab ma’rifat itu suatu karunia anugrah langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak tergantung kepada banyak atau sedikitnya amal baik kita.

Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman:

“Apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman, kemudian ia tidak mengeluh kepada orang yang menemuinya, maka Aku lepaskan ia dari ikatan-Ku dan aku gantikan untuknya daging dan darah(diri) yang lebih baik daripada dari semula, dan ia boleh memperbaiki amalshalihnya,sebab yang lalu telah Kuampuni semua.”

Diriwayatkan: Allah telah menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi-Nya. Aku telah menurunkan bala’(ujian) kepada seorang hamba, kemudian ia berdoa, dan tetap Aku tunda permohonannya, akhirnya ia mengeluh, maka Aku katakan kepadanya, ‘Hamba-Ku bagaimana Aku memberikan rahmat-Ku kepada-mu, padahal Aku justru sedang memberimu Rahmat-Ku yang terselubung dalam bala’ tersebut.

Karena dengan segala kelakuan kebaikanmu engkau tak dapat sampai ke tingkat yang akan Aku berikan kepadamu, maka dengan bala’ itulah engkau dapat mencapai maqam dan hal di sisi-Ku.’

Sedangkan Syaikh Fadhala Hairi dalam terjemahnya halaman 8 mensyarah sebagai berikut:

Kita tidak bisa mengukur seluruh rahmat Allah, atau membandingkannya dengan ilusi-ilusi kita tentang pengorbanan atau amal kebaikan kita. Apa pun yang kita tunjukkan kepada Sang Khaliq tidak sebanding dengan apa yang telah Dia karuniakan kepada kita, yakni fithrah dan cahaya ruh serta jiwa.

Sesungguhnya, Dia adalah Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu yang di dalam dan di sekitar (diri) kita, baik yang kasat mata/dhohir maupun yang ghaib/tak kasat mata. Kebutuhan-kebutuhan dan amal-amal kita hanyalah tanda dan pendahuluan menuju pembukaan qalbu dan pertolongan, yang sebenarnya sudah ada hanya terhijab dari kita.

===========================================================

Sahabats,

Bagi seorang shidiqqin seperti Syaikh Ibnu Aththoillah ra. dan para Ulama Akhlaq, keyakinan terhadap kesadaran posisi beliau sebagai seorang abdi/hamba di hadapan Allah SWT, telah menjadi dasar dari perilaku keseharian. Hal itu didasari oleh anugrah ma’rifatullah yang telah beliau-beliau rasakan, sehingga dalam setiap interaksinya dengan fenomena kehidupan ini, selalu kesadaran kesempurnaan, kepemurahan Allah Ar-Rahman Ar-Rahim menjadikan beliau selalu dalam kewaspadaan takwa yang sangat tinggi.

Semoga kita bisa meneladani perilaku para shidiqqin tersebut dalam kehidupan kita.

Laa haula wa laa quwwata illa bilahil Aliyyul Adhim.

Wallahu A’lam bishshawwab.

0 Comments